Kenaikan BBM = Kebijakan Anti Rakyat
Naiknya harga BBM (Bahan Bakar
Minyak) pada 22 Juni yang lalu banyak menimbulkan pro kontra atau perbedaan
pendapat di berbagai kalangan. Bahkan langkah/proses kenaikan tersebut juga tak
luput daripada aksi-aksi penolakan yang dilakukan oleh berbagai elemen, baik
itu mahasiswa, petani, buruh, dan elemen-elemen lainnya karena dianggap tidak
berpihak kepada rakyat (pro rakyat). Pemerintah mengatakan bahwasanya kenaikan
BBM dipicu oleh naiknya harga minyak dunia, sehingga APBN kita tidak mencukupi
lagi untuk mensubsidi bahan bakar minyak (jebol). Faktanya adalah, harga minyak
dunia justru sedang mengalami penurunan harga, dan lebih lanjut hampir 70 %
APBN kita digunakan untuk pembiayaan aparatur negara/birokrasi (seperti
gaji/tunjangan DPR/PNS/MPR, dll), menagapa tidak dialakukan pemotongan anggaran
gaji para pejabat yang notabene sampai saat ini belum bekerja maksimal untuk
rakyat.
Kebijakan
pemerintah menaikkan BBM juga merupakan salah satu bentuk liberalisasi
perdagangan, dimana dengan harga yang relative sama, Pertamina diharuskan
bersaing dengan perusahaan-perusaan minyak asing seperti Petronas, Totall
(Malaysia), Shell, dan lain-lain yang kualitasnya jauh berbeda, tentu saja
lambat laun, Pertamina sebagai salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang masih bertahan sampai saat ini akan
mengalami kemunduran. Dan efek/dampak yang paling besar adalah naiknya harga
seluruh kebutuhan manusia, baik itu bahan pokok, perumahan, air, listrik, dan
transportasi. Kenaikan harga kebutuhan tanpa dibarengi dengan kenaikan
upah/gaji/penghasilan merupakan sebuah kebijakan yang sangat tidak berpihak
kepada rakyat terutama kaum perempuan yang setiap harinya harus berurusan
dengan masalah-masalah pembiayaan-pembiayaan dalam rumah tangga dan buruh yang
dengan gaji secukupnya, bukan lagi berpikir ingin menuntut gaji lebih tinggi
tetapi juga mengalami kecemasan akan ancaman PHK, yang merupakan salah satu
cara pengusaha untuk melakukan efisiensi/penghematan terhadap pengeluaran biaya
produksi. Alhasil, kenaikan BBM yang berefek pada naiknya harga kebutuhan pokok
justru melemahkan daya beli masyarakat dan membuat kemiskinan semakin
bertambah. Dan cara penanggulangan pemerintah dengan melalui BLSM (Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat) yang hampir sama dengan BLT (Bantuan Langsung
Tunai) merupakan sebuah kebijakan yang tidak mencerdaskan rakyat. Pada
hakikatnya subsidi adalah hak rakyat yang harus dijalankan oleh pemerintah
karena diambil dari pajak rakyat itu sendiri, alangkah baiknya jika pemerintah
sedikit mengetatkan ikat pinggang untuk gaji/tunjangan para pejabat serta
memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh agar negara tidak mengalami
kerugian/kebocoran APBN yang lebih besar lagi.
Dalam fenomena
kenaikan BBM ini ada sedikit aksi ataupun respon.pandangan masyarakat yang
berbeda, dimana ketika aksi-aksi penolakan BBM marak dilakukan, masyarakat
sebagai pelaku yang dijadikan label perjuangan justru memberikan
respon/pandangan negative. Artinya tindaka-tindakan/aksi-aksi yang bertujuan
untuk menentang kenaikan BBM justru tidak direstui oleh elemen dasar yakni
masyarakat meskipun tidak sebagian besar, dan ini menyebabkan menurunnya
bargaining/kekuatan rakyat dimata pemerintah. Hal ini juga tidak terlepas
daripada peranan media massa yang dianggap tidak dapat bersikap netral dalam
memandang persoalan/fenomena kenaikan BBM ini, dimana banyak media massa yang
hanya menampilkan sisi-sisi negative daripada aksi-aksi penolakan kenaikan BBM,
tidak pada substansi atau landasan berpikir mengapa aksi tersebut dilakukan.
Reni Andriani
Dept.Kajian data & Database
Korwil SBSI SUMUT.
No comments:
Post a Comment